(Tulisan 2 Habis)
Pertarungan simbolik antara Ahok di satu sisi dan anggota DPRD DKI di sisi yang lain kian hari kian mengemuka dan semakin tidak jelas arahnya. Masing-masing malah bertahan dengan ego dan syahwat politiknya. Pun tidak ada tanda-tanda mereka akan mengakhiri pertarungan dengan berjiwa besar untuk saling mengalah (walau tidak berarti kalah) demi terciptanya kondisi Jakarta yang lebih sejuk. Sepertinya mereka tidak sadar jika hari ini menjadi tontonan gratis berjuta-juta masyarakat Indonesia, terutama warga DKI Jakarta.
Alih-alih menikmati pembangunan karya kepemimpinan baru, masyarakat DKI justru disuguhi tontonan tidak bermutu, yakni konflik antara gubernurnya dengan anggota DPRD. Harapan mereka memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan hidup di tengah metropolitan kini menjadi hampa. Energi Gubernur Ahok dan anggota DPRD yang mestinya dipakai semaksimal mungkin untuk membangun dan menyejahterakan warga ibukota nyaris habis terkuras untuk bertikai.
Sebagai pengkaji bahasa, khususnya sosiolinguistik, saya sangat bisa memahami penggunaan kata-kata kasar oleh Ahok, kendati tidak harus terjadi. Bahasa bukan sekedar susunan kata menjadi frasa, dan frasa menjadi kalimat, sebagaimana dianut kaum strukturalis, tetapi lebih dari itu bahasa adalah ekspresi dunia batin penggunanya. Ketika hati orang sedang gundah, marah, kecewa dan sebagainya kata-kata kasar tidak bisa dihindari. Di saat kondisi demikian emosi seseorang tidak terkontrol, sehingga sering tidak sadar bahwa kata-kata kasar telah keluar dari mulutnya. Hal itu terjadi pada Ahok. Kata-kata kasar Ahok kepada anggota DPRD tentu tidak muncul tiba-tiba dan hadir di ruang hampa. Dunia bantin Ahok dan konteks sosial menentukan keluarnya kata-kata kasar Ahok.
Dari bahasa tubuhnya (gestures), Ahok benar-benar marah. Dari mimik mulutnya, gerakan tangannya dengan menuding lawan bicaranya secara langsung, dan nada suaranya yang tinggi tidak bisa disembunyikan bahwa Ahok memang kecewa berat dengan ulah anggota DPRD DKI yang menitipkan dana ‘siluman’ di APBD 2015 DKI untuk kepentingan yang oleh Ahok dianggap tidak jelas.
Secara sosiologis, sebagai pemimpin dari kaum minoritas Ahok ingin tampil beda dari pemimpin-pemimpin DKI sebelumnya dan ingin membuktikan diri kepada khalayak bahwa dia pemimpin sejati. Karena itu, dia ingin bekerja dengan transparan, baik dalam penggunaan anggaran maupun dalam promosi jabatan publik lewat lelang. Ahok pasti sudah tahu bahwa langkah dan kebijakannya mengundang kontroversi dan memiliki banyak lawan politik, walau ada pula kawan yang membelanya.
Dengan kebijakan lelang jabatan, Ahok menafikkan promosi jabatan konvensional, yakni antri atas dasar urut pangkat, bukan atas dasar kompetensi. Dalam sistem demokrasi yang mengedepankan transparansi seperti sekarang ini, langkah Ahok sebenarnya tepat. Tetapi, karena itu hal baru, maka wajar banyak yang merasa tidak nyaman. Dalam ilmu psikologi, Ahok disebut menerjang daerah nyaman (comfort zone) para pejabat yang sudah bertahun-tahun antri. Comfort zone memang wilayah sensitif. Siapapun jika comfort zone-nya terganggu pasti akan melawan dengan keras.
Dengan mengumumkan adanya dana ‘siluman’ yang diselipkan anggota DPRD DKI ke anggaran 2015, Ahok jelas-jelas memberangus comfort zone para anggota legislatif DKI yang terhormat. Menggunakan perspektif psikologis tersebut, sangat bisa dimengerti jika para anggota DPRD DKI itu sangat murka terhadap Ahok. Berbagai upaya dilakukan untuk menyerang balik Ahok.
Para politisi DPRD DKI itu membungkus hidden ideology pertarungannya dengan Ahok dengan membungkus permasalahan Ahok telah melanggar undang-undang tentang anggaran yang dipublikasikan secara on line. Karena itu, pilihannya hanya satu di antara dua, yakni meminta maaf atau DPRD mengeluarkan Hak Menyatakan Pendapat sebagai senjata pamungkas.
Apa yang dilakukan anggota DPRD penentang Ahok kembali mengingatkan kita tentang salah satu mukjizat bahasa, yakni bahasa bisa membungkus rapat-rapat hal-hal yang sudah terang benderang dan kasat mata, tetapi di sisi yang lain bahasa juga bisa membongkar sejelas-jelasnya hal-hal yang disembunyikan dengan rapat. Sadar atau tidak para anggota DPRD DKI telah memanfaatkan salah satu kekuatan bahasa tersebut. Menggunakan perspektif Peter Berger tentang konstruksi sosial, terlihat jelas bahwa bahasa benar-benar terbukti sebagai alat efektif untuk mengkonstruksi realitas.
Sisi lain yang bisa diungkap dari pertarungan Ahok dan DPRD DKI adalah terjadinya kekerasan simbolik di antara dua kekuatan, eksekutif dan legislatif. Menggunakan perspektif kekerasan simbolik (symbolic violence) ala Johan Galtung kita memperoleh pengetahuan baru bahwa pertarungan simbolik itu tidak mengenal medan dan akhir yang jelas. Yang terjadi justru sebuah kekerasan dibalas dengan kekerasan lain dan akhirnya lahirlah kekerasan baru. Dalam konteks ini, kekerasan baru yang dimaksudkan adalah berupa upaya pemakzulan Ahok dari kursi Gubernur DKI, yang disebut sebagai political symbolic power.
Pertarungan simbolik memang tidak mengakibatkan luka fisik pada yang bermain, tetapi saya yakin kedua belah pihak sama-sama babak belur. Kendati masih bisa tertawa-tawa dan menganggap enteng seolah-olah tidak terjadi ada apa pada dirinya, wajah Ahok menyembunyikan beban psikologis berat. Setidaknya energinya saat ini terkuras untuk menangkis serangan para anggota DPRD yang merasa terganggu atas ulah Ahok. Terbukti akhir-akhir ini Ahok absen dari berwacana tentang pembenahan kemacetan lalu lintas, banjir, daerah kumuh, dan persoalan-persoalan lainnya yang selama ini menjadi jargon politiknya.
Sebaliknya, para anggota DPRD DKI jelas dibuat tidak bisa tidur nyenyak, karena agendanya dibongkar ke publik oleh Ahok. Mereka adalah anggota legislatif baru yang mestinya masih berbulan madu dengan konstituennya. Tetapi karena Ahok, mereka seolah terpisah dari konstituennya dan berbalik menjadi sorotan tajam masyarakat pemilihnya. Melalui media, beberapa anggota masyarakat DKI menyampaikan kekecewaan dan keprihatinannya telah memilih mereka dan malah ada yang menghimbau untuk tidak memilih mereka kembali pada pemilu yang akan datang. Sebab, mereka dinilai telah melukai hati rakyat. Itu merupakan pukulan telak bagi anggota DPRD DKI.
Ahok dan anggota DPRD DKI benar-benar telah masuk dalam arena pertarungan simbolik lewat bahasa. Menggunakan perspektif bahasa dan kekuasaan ala Bourdieu, bersama seni dan agama, bahasa memang memiliki kekuatan sangat dahsyat. Pertarungan sengit itu bermula hanya dari beberapa kata, seperti maling, munafik, bajingan, bego, brengsek, perampok, dan bandit. Bahkan terakhir kata “tai”. Siapapun lawan bicaranya, kata-kata itu memang memerahkan telinga. Karena itu, wajar jika para anggota DPRD menjadi sangat murka terhadap Ahok.
Saya tidak tahu bagaimana akhir pertarungan Ahok dengan anggota DPRD DKI itu nantinya. Sebab, saya bukan ahli politik. Saya sekadar peminat bahasa yang mengajar sosiolinguistik, khususnya bahasa politik yang memfokuskan pada siapa bicara apa dan dalam konteks apa. Tetapi pelajaran yang bisa dipetik adalah tujuan komunikasi masing-masing pihak sudah tidak lagi efektif, karena tidak mengindahkan model komunikasi yang ideal, yakni komunikasi yang saling menghormati dengan menggunakan kata-kata yang sejuk, pilihan kata yang bijak dan menenteramkan hati, tidak saja bagi penggunanya dan lawan bicaranya, tetapi juga pendengarnya.
Apa yang dilakukan oleh Ahok dan para anggota DPRD DKI lewat pertarungan simbolik itu telah mengingkari salah satu tujuan bahasa, yakni membangun harmoni sosial. Sebab, yang terjadi justru sebaliknya, yakni konflik sosial. Sebagai bagian tak terpisahkan dari seni, bahasa itu indah. Karena itu, sudah sepatutnya kata-kata kasar, apalagi vulgar, bisa dihindari, terutama oleh para elite dan figur publik. Sebab, mereka adalah panutan masyarakat.
Sementara itu, untuk memahami model komunikasi Ahok yang keluar dari pakem komunikasi ideal, pendekatan sosiolinguistik saja tidak cukup. Tampaknya, diperlukan kajian lain seperti antropolinguistik, yang mengkaji perilaku berbahasa seseorang dengan latar budayanya. Sebagaimana diketahui Ahok adalah keturunan Tionghoa, beragama Nasrani, memimpin ibukota yang mayoritas muslim, tokoh dari daerah (Belitung), yang menapak sukses karier politiknya di ibukota. Tentu semua membentuk perilakunya, termasuk perilaku berbahasanya.
Atau juga pendekatan psikolinguistik yang mengkaji Ahok dari sisi kondisi psikologis saat ini, sehingga darinya keluar kata-kata kasar yang memerahkan telinga lawan bicaranya. Sekali lagi pertarungan Ahok versus anggota DPRD DKI menegaskan bahwa berbahasa bukan sekadar peristiwa linguistik, tetapi juga peristiwa sosial. Kata dan maknanya tidak hadir tiba-tiba dan terjadi di ruang hampa, tetapi selalu dalam konteks sosial yang melingkupinya. Itu sebabnya, lahir sub-kajian baru dalam dunia linguistik, yakni sosiolinguistik.
Karena mendapat kecaman dari mana-mana, bisa saja Ahok akhirnya meminta maaf dan menarik kata-kata kasarnya. Tetapi perlu diingat bahwa kata yang sudah meluncur tidak bisa ditarik oleh tujuh kuda sekalipun. Dia sudah hinggap di telinga pendengar dan lawan bicaranya bersama kandungan maknanya. Untuk itu, orang perlu berhati-hati mengeluarkan kata, apalagi kata-kata kasar dan kotor. Saya sangat setuju Ahok memimpin Jakarta dengan mengedepankan transparansi di semua hal dan sesekali keras, tetapi akan sangat indah dan saya yakin efektif jika Ahok sanggup membenahi model komunikasi politiknya.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kalimat pengandaian sebagaimana judul di atas. Andai saja Ahok dan anggota DPRD DKI pernah belajar sosiolinguistik, niscaya pertarungan simbolik yang menghebohkan itu tidak akan terjadi. Sebab, keduanya akan saling menjaga dan menghormati dengan menggunakan prinsip dasar ajaran sosiolinguistik, yakni kapan seseorang harus mengucapkan kata apa, dengan siapa, di mana, untuk maksud apa, dan terakhir “bagaimana” semua itu harus disampaikan.
Namun semua telah terjadi dan tentu akan ditulis dalam sejarah bahwa Jakarta pernah dipimpin oleh Gubernur bernama Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal pula dengan nama Ahok, berasal dari Belitung, keturunan Tionghoa dan beragama Nasrani, serta suka bicara blak-blakan serta sempat berseteru dengan anggota DPRD yang mestinya merupakan mitra kerjanya. Andai saja Ahok dan para anggota DPRD DKI itu pernah belajar sosiolinguistik, saya yakin pertarungan yang tidak produktif itu bisa dihindari. Tetapi, sayang sejarah tidak mengenal pengandaian!
___________
Malang, 8 April 2015