Tulisan ini saya awali dengan pertanyaan “Jika mendengar kata ‘desa’, apa yang terlintas di benak anda?”. Kata ‘desa’ sering diidentikkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, kebodohan, umumnya warganya bekerja sebagai petani, berpendidikan rendah, sarana dan prasarana publik minim, dan sebagainya. Tetapi Itu kondisi desa tempo dulu. Rasanya sekarang tidak lagi relevan menggambarkan desa seperti itu. Sebab, saat ini banyak kemajuan yang bisa kita saksikan di desa dengan sarana dan fasilitas publik menyerupai daerah perkotaan.
Bahkan di era pemerintahan Jokowi-Jk sekarang ini malah ada kementerian yang secara khusus mengurusi desa, namanya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, yang merupakan gabungan antara Kementerian Daerah Tertinggal dan Kementerian Transmigrasi di era pemerintahan sebelumnya. Itu artinya pemerintah menyadari bahwa pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari pembangunan desa. Untuk menunjukkan keseriusannya mengurusi desa, melalui DPR, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 15/2014 yang tujuannya untuk menghormati desa dengan keberagamannya, selain memberikan status dan kepastian hukum, melestarikan dan memajukan adat, tradisi dan budaya, serta mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan yang melayani publik. Begitu bunyi undang-undang tentang desa yang dikeluarkan pemerintah Januari 2014. Usia undang-undang tentang desa kini sudah satu tahun lebih. Bagi warga desa, kelahiran undang-undang tersebut wajib disyukuri, karena akan memberikan jaminan pembangunan yang tentu saja diharapakan oleh semua warga desa.
Bagi saya, desa bukan sesuatu yang asing. Sebab, saya berasal dari desa, bahkan pedukuhan. Masa kecil saya dihabiskan di desa dengan berbagai kultur dan adat istiadatnya. Di waktu longgar atau jika ada urusan keluarga saya masih sering pulang kampung sambil bernostalgia mengenang masa-masa kecil dulu. Walau telah ada perubahan, dibanding dengan desa-desa sekitarnya, perkembangan desa saya sangat terlambat. Mungkin karena berstatus pedukuhan, kepala desa kurang memberikan perhatian. Selain itu, jumlah warganya tidak banyak, hanya ada kurang lebih 25 keluarga.
Tetapi sekarang sudah ada aliran listrik, jalan utama dimakadam, hampir semua warga memiliki pesawat televisi, bahkan beberapa warga punya kendaraan roda empat, dan para pemudanya banyak yang menggunakan HP sebagai alat komunikasi. Ke sawah pun mereka membawa HP. Yang menggembirakan saya adalah warga yang melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi sudah mulai banyak. Mengapa saya gembira? Karena hanya lewat pendidikan mata rantai antara kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan akan diputus. Tidak saja itu, pendidikan merupakan satu-satunya pintu untuk mengangkat harkat dan martabat mereka.
Yang tetap tidak berubah adalah semua rumah warga menghadap ke arah selatan, walau harus menghadap ke sungai atau sawah. Sebab, ada mitos jika tidak menghadap ke selatan, pemilik rumah sering tertimpa musibah. Namanya mitos, ya sulit dibuktikan. Tetapi anehnya, di zaman semodern sekarang ini sebagian besar masyarakat masih sangat mempercayainya. Saya tidak tahu mengapa mitos tersebut begitu kuat merasuk di hati masyarakat. Gedung Sekolah Dasar (SD) tempat saya mengawali pendidikan masih tampak utuh seperti dulu, kecuali ada bangunan tambahan di kanan kiri. Masjid dan mushola tempat saya belajar mengaji juga tetap utuh dan praktis tidak ada perubahan.
Selain ada yang tidak berubah, ada yang hilang di desa saya, yakni sungai tempat saya dan teman-teman sebaya dulu mandi, belajar berenang, mencari ikan, dan memandikan lembu. Sungai itu kini hilang karena terendam pasir yang menggelontor dari gunung Kelud. Bagi warga desa saya, sungai itu manfaatnya luar biasa karena airnya untuk mengairi sawah, dan jika sawah kelebihan air, menjadi tempat penampungan. Yang saya ingat sungai itu banyak mengandung ikan. Airnya bening dan arusnya tidak deras. Bagi saya, sungai bukan sekadar tempat mandi, belajar berenang dan mencari ikan, tetapi sarana berinteraksi yang efektif dengan sesama warga, dengan yang sebaya, bahkan dengan yang lebih tua.
Ada satu lagi yang sangat berubah, yakni kawan-kawan saya seangkatan di Sekolah Dasar dulu sudah kelihatan jauh lebih tua ketimbang usia mereka yang sebenarnya. Bahkan saya sampai lupa beberapa di antara mereka. Mereka semua bekerja sebagai petani, yang merupakan pekerjaan turun temurun sejak nenek moyang mereka. Selain sangat terbelakang dan terpencil, tanah desa saya tergolong tidak subur. Hanya tanaman-tanaman tertentu saja yang bisa tumbuh dan berproduksi, seperti padi, jagung, ketela, kedelai, lombok, dan kacang. Jenis tanaman sayur-sayuran tidak begitu bagus. Karena hanya menanam tanaman-tanaman tradisional, wajar jika warganya miskin.
Warga desa saya itu masih mengenal saya dengan baik. Maklum, saat itu saya satu-satunya warga yang meneruskan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Saya masih ingat ketika saya bercita-cita ingin meneruskan sekolah setelah lulus SD banyak warga yang mencibir, termasuk kerabat dekat saya sendiri. Sebab, mereka tahu biaya sekolah tidak sedikit dan apa pasti bisa bekerja setelah lulus sekolah nanti. Bekerja sebagai petani di sawah kan sudah jelas dan tidak mengeluarkan biaya. Karena itu, semua teman saya seangkatan Sekolah Dasar tidak ada yang melanjutkan sekolah. Setelah lulus dari SD, mereka bekerja di sawah membantu orangtua mereka. Malah, beberapa di antara mereka langsung dinikahkan. Saya sangat beruntung karena keluarga saya bersikukuh bahwa saya harus melanjutkan sekolah. Warga desa saya sangat tidak menyadari pentingnya pendidikan. Praktis tidak ada campur tangan pemerintah saat itu tentang betapa pentingnya pendidikan.
Kendati umumnya berpendidikan rendah (rata-rata SD), ada hal positif yang tidak berubah hingga kini, yaitu sikap ramah warga. Keramahan itu masih saya rasakan setiap saat saya pulang kampung. Semua menyapa dan menawari mampir ke rumah mereka. Sesekali saya sempatkan, dan tampak sekali mereka bahagia. Tidak ketinggalan pula saya diberi makanan ala desa. Suatu kali ada yang saya tidak sempat mampir, dia marah dan merasa tersinggung dan mengatakan “karena saya miskin, kamu gak mau mampir ke rumahku”. Ungkapan itu sangat mengganggu saya hingga kini, karena sebenarnya saya tidak sempat mampir karena keterbatasan waktu. Untuk memberi pemahaman yang benar dan menjaga hubungan baik, saya meminta maaf beberapa kali, dan alhamdulillah persoalan itu bisa diselesaikan.
Ada satu hal yang sering saya lakukan pulang ke desa, yakni mengunjungi pasar, yang berjarak kira-kira 3 km dari rumah saya. Saya cari warung nasi yang dulu saya sering diajak nenek saya ketika saya mengantarkannya belanja. Warung itu sekarang sudah tidak ada, karena pemiliknya sudah meninggal dan anak cucunya tidak ada yang melanjutkan jualan makanan. Warung di pojok pasar itu dulu favorit saya. Setiap saya diminta nenek (saya ikut nenek sejak kecil), saya sangat senang karena pasti diajak mampir ke warung nasi itu. Saya ingat suatu kali nenek tidak mengajak saya mampir ke warung nasi itu mungkin karena uangnya pas-pasan, saya sangat kecewa. Dalam perjalanan pulang, hati saya nggrundel.
Saya suka melihat pasar tradisional bukan untuk belanja, tetapi untuk melihat dari dekat berbagai macam praktik sosial yang ada. Pasar bukan sekadar tempat jualan berbagai kebutuhan hidup. Secara sosiologis, pasar merupakan arena atau medan tempat terjadinya interaksi sosial yang sangat intensif. Jika diperhatikan pasar-pasar tradisional juga merupakan tempat transaksi ekonomi orang-orang tangguh. Disebut tangguh karena mereka tidak mengenal inflasi, naik turunnya mata uang, dan kenaikan harga BBM. Di pasar tradisional tidak begitu tampak praktik kompetisi di antara pedagang. Kalaupun ada, tidak seperti kompetisi di pasar-pasar atau toko-toko modern seperti Alfamart, Indomaret, dan sebagainya yang sekarang menjamur dan mengancam keberadaan pasar atau toko-toko tradisional. Saat ini menurut data di Kementerian Perdagangan jumlah pasar tradisional tinggal 9.950, menurun tajam dari 13.750 di tahun 2007.
Berceritera tentang pasar, saya teringat almarhum Prof. Dr. Ir. H. Andi Hakim Nasutuion, M.Sc., mantan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB). Di banyak kesempatan beliau yang pakar statistika itu menyampaikan kesukaannya mengunjungi pasar tradisional. Setiap kali berkunjung ke suatu daerah, beliau selalu mengunjungi pasar. Apa sebabnya? Menurutnya, jika ingin melihat hasil produksi rakyat kunjungilah pasar tradisional. Di sana akan tampak apa yang diproduksi, dijual dan dikonsumsi rakyat. Tidak hanya itu, kata Prof. Andi Hakim, pasar juga merupakan arena melihat kemakmuran rakyat. Jika produksi pertanian melimpah di pasar, hampir bisa dipastikan rakyat sejahtera. Begitu sebaliknya, jika barang yang dijual hanya itu-itu saja dan jumlahnya tidak banyak , rakyat itu sedang dalam kondisi kesulitan ekonomi. Karena itu, tidak diperlukan statistik yang ruwet-ruwet untuk melihat kesejahteraan rakyat.
Apa yang dikatakan Prof. Andi Hakikm Nasution benar. Dibanding dengan dulu, pasar tradisonal daerah saya itu kini berlimpah dengan hasil pertanian, mulai dari beras, jagung, ketela, kedelai, kobis, lombok, rempah-rempah, berbagai buah-buahan dan sayur. Pokoknya kebutuhan apa saja sekarang bisa didapatkan. Orang yang belanja tinggal mengukur uangnya saja. Jika uangnya banyak, beli apa saja akan kesampaian. Hal yang lain lagi, jika dulu pedagang dan pemasok barang hanya dari desa saya, sekarang para pedangangnya berasal dari berbagai tempat. Itu menambah jumlah dan barang yang dijual.
Dengan kelahiran undang-undang baru tentang desa, kita berharap desa-desa di Indonesia yang jumlahnya mencapai ribuan bisa maju, tanpa harus kehilangan nilai-nilai sosial dan budaya yang selama ini sudah ada secara turun temurun. Karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah daerah pedesaan, sangat masuk akal jika pemerintah memberikan perhatian secara khusus kepada pembangunan desa. Jika desa maju, masyarakatnya tidak perlu bermigrasi ke kota, sehingga kota menjadi sesak dan memunculkan berbagai persoalan sosial akibat datangnya kaum urban yang rata-rata masih belum terdidik.
Namun bagi saya, apapun wujudnya, desa saya akan tetap menjadi kenangan indah. Dari desa itu saya terlahir dan dibesarkan, dan dari desa itu pula saya melangkah untuk mengenyam pendidikan lanjutan. Karena itu, engkau tidak pernah saya lupakan, engkau tetap akan saya kenang hingga akhir hayat. Sewaktu-waktu engkau tetap saya kunjungi. Tetapi saya juga menginginkan desa saya yang maju, yang warganya sejahtera, ramah, hidup berkecukupan, yang masih pada ngaji setelah maghrib, dan tetap bersahaja. Karena itu, andai saja nanti menjadi modern sebagai dampak pemberlakukan undang-undang desa, saya menginginkan desa saya tetap sejuk dengan berbagai pepohonannya yang hijau, indah nan permai, sebagaimana syair lagu “Desaku yang Permai”, yang pernah saya nyanyikan ketika ujian akhir di Sekolah Dasar dulu. Oh desaku!
________
Malang, 1 Februari 2015