Senin, 16 Maret 2015, saya mendapat undangan dari pengelola TV Universitas Brawijaya (UB TV) untuk menjadi nara sumber bedah buku ditulis oleh Dr. Jazim Hamidi, M.Hum dengan judul “Hermeneutika Hukum: Sejarah- Filsafat & Metode Tafsir”. Acara dimulai pukul 14.30 WIB dan berakhir pukul 16.00 WIB. Buku itu sebagian dari isi disertasi Jazim Hamidi yang menyelesaikan program doktor di Universitas Pajajaran Bandung. Saya diundang karena penulis buku itu tahu bahwa saya pernah menulis disertasi tentang hermeneutika juga, tepatnya tentang relasi antara bahasa dan kuasa dalam perspektif hermeneutika.
Saya senang menghadiri undangan tersebut, karena selain bertemu penulis buku itu yang kebetulan teman lama, juga ingin menggugah memori saya kembali tentang hermeneutika, sebuah disiplin ilmu, khususnya ilmu tafsir, yang sempat saya geluti beberapa tahun ketika studi S3. Selain itu, kesempatan itu merupakan kali pertama saya tampil di UB TV yang baru satu tahun berdiri.
Acara yang dipandu oleh Mbak Dini, salah seorang penyiar UB TV, dengan melibatkan mahasiswa dari berbagai jurusan di Universitas Brawijaya itu berlangsung gayeng, diawali dengan pertanyaan ke Pak Jazim tentang makna hermeneutika secara umum dan kaitannya dengan hukum. Ketika giliran saya menyampaikan pandangan tentang hermeneutika hukum, saya memulainya dengan makna hermeneutika untuk menyempurnakan penjelasan Pak Jazim bahwa istilah hermeneutika diambil dari mitologi Yunani melalui nama seorang dewa bernama Hermes. Sebagai seorang dewa, Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan-pesan Tuhan kepada manusia dengan menggunakan bahasa manusia agar bisa dimengerti.
Asumsinya adalah Tuhan memiliki bahasanya sendiri yang tidak sama dengan bahasa manusia. Karena itu, agar pesan-pesan Tuhan bisa sampai ke manusia, diperlukan jasa seorang dewa bernama Hermes. Selanjutnya hermeneutika berkembang menjadi ilmu tafsir teks dengan menggunakan bahasa sebagai wilayah /objek kajian.
Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa istilah hermeneutika itu berdiri di dua kaki. Pertama ia merupakan sebuah aliran pemikiran dalam filsafat, dan yang kedua sebagai sebuah metode penelitian, khususnya tentang teks, Sebagai sebuah metode, hermeneutika memiliki dua mazhab yang saling kontras; yang pertama disebut mazhab Intensionalisme dan yang kedua disebut mazhab Gadamerian, diambil dari nama penggagasnya, yaitu Gadamer. Bagi para pengkaji teks, nama Hans George Gadamer tidak asing. Ia merupakan salah seorang filsuf dari Jerman sebagai salah satu peletak dasar filsafat hermeneutika kontemporer.
Yang pertama beranggapan bahwa makna sebuah teks itu sepenuhnya ada pada penulisnya. Yang paling tahu tentang isi sebuah teks tidak lain, kecuali penulisnya itu sendiri. Karena itu, untuk memahami makna teks, penafsir harus menelusurnya dari penulisnya langsung. Misalnya, dalam konteks hermeneutika hukum, makna sebuah produk hukum hanya bisa dari sang produser, yakni DPR. Maka DPR lah satu-satunya pihak yang paling punya hak memberi makna hukum, karena dia pembuatnya. Masalahnya bagaimana jika pembuat teks itu sendiri sudah tidak ada alias meninggal? Bagaimana menelusurinya?
Sedangkan yang kedua, mazhab Gadamerian, memandang bahwa makna suatu teks itu tidak pada penulisnya, tetapi pada pembacanya. Buktinya teks yang sama dibaca oleh beberapa orang yang berbeda maknanya akan berbeda-beda pula. Kalau begitu, makna itu pada pembaca, tidak pada penulis. Karena itu, memahami teks tidak perlu mencari penulisnya. Mazhab ini beranggapan bahwa teks yang sudah dilempar di ruang publik, maknanya tidak lagi ada pada penulis teks, tetapi pada khalayak pembacanya. Itu sebabnya sering terjadi pembaca teks bisa memberi makna teks melebihi penulisnya sendiri.
Dikaitkan dengan hukum, maka hermeneutika memiliki komunitas hermeneutika hukum, yaitu jaksa, hakim, polisi, pengacara, dan pengamat hukum. Mereka itulah para penafsir teks yang sehari-hari pekerjaannya memaknai teks hukum sesuai kepentingan masing-masing. Perhatikan saja bagaimana pertarungan makna oleh seorang jaksa, hakim, pengacara, dan pengamat dalam memahami sebuah ketentuan hukum. Bermacam-macam kan? Padahal, teks atau pasal hukumnya sama. Itu merupakan bukti bahwa makna teks itu ada pada pembacanya.
Saya juga mengingatkan bahwa kendati pembaca teks itu merupakan penafsir teks, tidak berarti dia memiliki keleluasaan begitu saja untuk memberi makna teks. Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi sebelum membuat kesimpulan. Salah satunya adalah prinsip “a part and a whole” , yang artinya bahwa untuk memahami keseluruhan teks (whole text) harus dimulai dari pemahaman bagian-bagian (parts), dan untuk memahami makna bagian-bagian itu bisa dilihat dari makna teks secara keseluruhan. Itulah teori a part and a whole yang wajib diikuti oleh penafsir teks.
Diskusi semakin gayeng karena Pak Jazim melengkapi penjelasan saya tentang beberapa jenis metode memahami teks, yaitu tekstual/literal, kontekstual, dan kontekstualisasi. Mehami teks secara tekstual artinya teks dipahami apa adanya dengan mendasarkan makna kata sebagaimana yang tertulis di kamus. Selain menggunakan kamus sebagai sumber makna, metode tekstual juga menggunakan gramatika sebagai bagian upaya pemahaman.
Makna kontekstual ialah memahami teks dengan melihat kondisi bagaimana teks itu lahir, baik kondisi sosial, kultural, maupun sejarah dan sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa tidak pernah ada teks yang hadir di ruang hampa dan sendirian. Dia pasti ada kondisi yang melingkupinya. Karena itu, makna itu sebenarnya ada pada konteks. Konteks itu hadir dalam bentuk bagian-bagian (parts) . Contohnya, kata yang sama bisa bermakna beda di dalam konteks yang berbeda.
Sedangkan kontekstualisasi teks ialah upaya mengaktualisasikan makna teks dengan mempertimbangkan kondisi di mana teks akan dihadirkan. Dan, seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat, dunia tafsir menafsir pun akan terus berkembang mengikuti zaman.
Diskusi diakhiri dengan sebuah kesimpulan betapa pentingnya hermeneutika dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sebab, semua tindakan manusia hakikatnya adalah produk dari sebuah pemaknaan teks. Misalnya, dalam Islam semua tindakan keberagamaan umat Islam bersumber dari pemahaman tafsir ayat dan hadis Nabi. Ayat pun ada yang tertulis yang disebut ayat kauliyyah, dan ayat-ayat yang tidak tertulis atau yang disebut ayat kauniyyah yang bertebaran di kanan kiri kita. Begitu juga bagi penganut agama-agama lain. Semua tindakan keberagamaan berasal dari hasil penafsiran kitab suci yang mereka anut. Perbedaan penfasiran itu yang menyebabkan lahirnya beberapa aliran dalam beragama.
Pun dalam kehidupan ini semua tindakan sosial kita juga berdasarkan atas tafsir teks (yang tertulis dan tidak tertulis) tentang aturan, adat istiadat, nilai, tata krama, dan budaya di mana kita semua hadir. Jika kita salah menafsirkan semua itu, tak terelakkkan kita akan dianggap sebagai orang yang tidak mengerti aturan dan tata krama kehidupan. Dampaknya, kita bisa disingkirkan dari kehidupan sosial dan hidup dalam keterasingan atau stranger in the crowds.
Kita dapat membayangkan bagaimana menderitanya hidup dalam keterasingan dari masyarakat pada umumnya, walau secara fisik kita ada di dalamnya. Ketika orang-orang di sekitar kita pada tidak menyapa dan keberadaan kita dianggap tidak ada itulah sebenarnya kita hidup dalam keterasingan, yang dalam sosiologi disebut a stranger in the crowds.
Untuk tidak menjadi asing di tengah keramaian, maka kita harus pandai-pandai menafsir semua teks kehidupan yang ada di sekitar kita. Karena itu, diakui atau tidak, kita semua hakikatnya adalah penafsir teks, atau hermeneut, walaupun mungkin kita tidak suka atau tidak setuju dengan istilah tersebut. Semoga bermanfaat!
__________
Penerbangan Makassar-Jakarta, 17 Maret 2015