Pada 19 hingga 22 Mei 2015 saya mengikuti acara Rapat Kerja Nasional Kementerian Agama RI Tahun 2015 di hotel Mercure, Jakarta. Rapat yang dibuka secara resmi oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, dengan tema “Menghadirkan Pelayanan Masyarakat Berbasis Lima Nilai Budaya Kerja” diikuti oleh semua pejabat eselon 1 dan 2 Kemenag pusat, semua Rektor dan Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan se-Indonesia, semua Kakanwil Kemenag dan kepala Balai Diklat, staf khusus dan staf ahli Menteri Agama.
Dalam sambutan pembukaan, Menteri Agama menyampaikan bahwa inti dari Rakernas ini ialah seruan kepada semua aparatur di bawah Kementerian Agama di manapun berada untuk meningkatkan kinerja dengan bertumpu pada lima nilai budaya kerja, yakni integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan yang menjadi tema besar Kementerian Agama era Presiden Joko Widodo ini. Untuk menambah bobot Rakernas, selain menghadirkan narasumber dari internal Kemenag sendiri, panitia juga menghadirkan narasumber dari luar Kemenag, yakni dari Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Polhukam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PAN dan RB, Kepala Bappenas, dan KPK. Semua narasumber dari eksternal yang diundang mewakilkan pejabat eselon 1 karena berbagai kesibukannya, kecuali Menkopolhukam yang hadir sendiri menyampaikan materinya.
Semua narasumber menyampaikan materi sesuai kompetensi dan tugas utamanya sebagai pejabat di kantor masing-masing. Pada sesi tanya jawab usai presentasi materi ada hal yang cukup menarik dan menurut saya di luar dugaan, yakni sesi tanya jawab dengan Plt. Dirjen PAUDNI (Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal), Dr. Ir. Taufik Hanafi, M.Sc, yang kebetulan saya sudah kenal lama, yang mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. PLt. Dirjen PAUDNI itu menjelaskan secara gamblang mulai dari perkembangan pendidikan di Indonesia secara kuantitatif dan kualitatif, persoalan-persoalan yang dihadapi, indeks kualitas hidup manusia Indonesia, anggaran yang diperlukan secara ideal untuk membangun pendidikan yang berkualitas, hingga kesiapan Indonesia memasuki era pasar bebas ASEAN atau MEA awal 2016.
Di tengah tanya jawab itu, tiba-tiba kawan saya, yakni Ketua STAIN Kediri, menanyakan tentang kesiapan pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi masyarakat ASEAN. Alasannya, bahasa Indonesia yang masuk rumpun bahasa Melayu memiliki jumlah penutur yang sangat banyak, mulai dari masyarakat Indonesia sendiri, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, Singapura, sebagian masyarakat Filipina di wilayah Selatan, dan juga Timor Leste. Selain itu, menurutnya, sekarang mulai banyak warga negara-negara anggota ASEAN mulai belajar bahasa Indonesia, karena melihat Indonesia merupakan lahan pasar berbagai komoditas yang sangat menjanjikan.
Upaya itu dimaksudkan untuk memperkokoh jati diri budaya bangsa Indonesia. Sebab, bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya. Karena itu, daripada sulit-sulit harus menguasai bahasa Inggris lebih baik berjuang melobi sesama warga negara pengguna bahasa Melayu untuk menggunakan bahasa Indonesia. Peserta raker itu memminta Kemendikbud membuat rancangan dalam waktu segera untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa di era MEA.
Saya tertarik dan memberikan perhatian secara khusus terhadap usulan tersebut dan ingat bahwa saya pernah menulis artikel di media lokal tentang peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa ASEAN. Saya juga sempat diwawancarai wartawan Radio Australia di Melbourne menyangkut tulisan tersebut.
Saya sangat setuju bahwa sebagai upaya memperkokoh jati diri bangsa ialah salah satunya dengan menjadikan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia menjadi media komunikasi masyarakat ASEAN. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Penerimaan sebuah bahasa sebagai media komunikasi masyarakat internasional tidak semata karena banyaknya jumlah penutur. Banyak variabel yang menentukan untuk itu. Satu di antaranya ialah kekuatan ekonomi penutur bahasa yang bersangkutan. Dari satu aspek ini saja upaya itu akan gagal. Kita semua tahu kekuatan ekonomi masyarakat pengguna bahasa Melayu.
Di antara negara-negara penutur bahasa Melayu hanya Singapura yang memiliki basis ekonomi sangat kuat, bahkan salah satu yang terkuat di dunia. Memperhatikan kondisi sosial dan kultural masyarakat Singapura, saya tidak yakin Singapura setuju penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa era MEA. Masyarakat Singapura lebih suka menggunakan bahasa Inggris dan pada tahun 1987 pemerintah Singapura menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama resmi dalam sistem pendidikan dan dalam administrasi pemerintahan. Bahasa Melayu ditentukan sebagai bahasa kebangsaan bersama bahasa Mandarin, mengingat 77 % penduduk Singapura etnik Tionghoa, dan Tamil. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita bisa menyaksikan sebagian besar masyarakat Singapura berbahasa Inggris, walau bahasa Inggrisnya tidak baku karena keluar dari pakem gramatika bahasa Inggris. Para ahli bahasa menyebutnya sebagai Singlish (Singapore English). Orang yang berkunjung ke Singapura dan kebetulan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan para pedagang akan mendengarkan Singlish tersebut.
Selain kekuatan ekonomi, variabel lainnya ialah kontribusi bahasa yang bersangkutan dalam penyebaran ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Dari variabel kedua ini, bahasa Melayu tidak memenuhi syarat. Bahasa Melayu bukan tergolong bahasa ilmu pengetahuan, dan karenanya akan gagal untuk menjadi bahasa internasional. Dalam studi sosiolinguistik ditemukan bahwa salah satu variabel bahasa menjadi bahasa internasional ialah karena praktik kolonialisme. Artinya, pemilik bahasa itu pernah menjadi kolonial bagi bangsa lain. Sebagai contoh bahasa Inggris menjadi bahasa internasional yang paling tinggi jumlah penggunanya, selain karena bahasa Inggris memiliki sistem aturan atau tata bahasa yang sudah mapan dan kosakatanya banyak, ialah karena orang-orang Inggris menjajah bangsa-bangsa lain di hampir semua benua. Negara yang pernah menjadi jajahan Inggris dan bergabung dalam organisasi Common Wealth (persemakmuran) tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama.
Perlu diketahui bahwa penjajah selalu hadir dengan bahasanya, sebagai strategi untuk mengembangkan budayanya. Dari aspek ini, upaya menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa pasar ASEAN juga akan gagal. Sebab, pemilik bahasa Melayu tidak pernah menjadi penjajah bagi bangsa lain. Variabel-variabel penghambat itu akan ditambah lagi dengan keberadaan negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Kamboja, Thailand, Filipina, Myanmar, dan Vietnam yang belum tentu setuju dengan usulan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN.
Satu variabel paling memungkinkan untuk maksud tersebut ialah bahasa Melayu tergolong bahasa yang mudah dipelajari dengan sistem tata bahasa dan sistem bunyi yang sederhana. Tetapi saya teringat keluhan orang-orang asing (baca: Barat) yang mempelajari bahasa Melayu selama ini ialah justru karena kesederhanaannya. Dengan demikian, atas dasar alasan-alasan di atas, peluang bahasa Melayu menjadi bahasa internasional pada lingkup negara-negara ASEAN ketika memasuki era pasar bebas (MEA) sangat kecil.
Tetapi di luar variabel-variabel tersebut di atas, menurut Prof. Berthold Damshauser, Kepala Program Studi Bahasa Indonesia di Universitas Bonn Jerman, ialah masih ada satu lagi yang memungkinkan sebuah bahasa menjadi bahasa internasional, yakni keluhuran budi dan keagungan budaya penuturnya. Bukankah selama ini orang Indonesia terkenal dengan budi luhur, keramahan dan kesantunannya? Nah, sampai di sini kita bisa bernafas lega karena bahasa Indonesia berpeluang untuk menjadi bahasa internasional tingkat ASEAN. Tetapi melihat merosotnya nilai-nilai keluhuran dan keagungan akhlak masyarakat Indonesia beberapa kurun waktu terakhir, tepatnya sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru, sehingga berbagai bentuk kekerasan terjadi di mana-mana, kita pesimis jika peluang itu kita peroleh.
Kendati peluang sebagaimana diusulkan kawan saya itu tipis, saya patut menyampaikan penghargaan karena kawan saya itu telah membuka wacana pentingnya mengokohkan identitas bangsa melalui penyebaran bahasa melalui Rakernas Kemenag 2015, sehingga suasana Rakernas menjadi lebih menarik. Semoga menjadi amal sholeh Pak Chamid!
__________
Jakarta, 21 Mei 2015