Di sebuah rapat kerja di Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat terkesima dengan salah seorang narasumber, bukan karena isi ceramah yang disampaikan dan cara menyampaikannya, tetapi karena bahasa yang digunakan. Narasumber itu menggunakan istilah-istilah dari bahasa Inggris dicampur dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia, seperti “menginputkan”, “mengupload”, “mendownload”, “mendelete”, “mengupgrade”, “mengendorse”, dan “mensupport”. Itu sebagian contoh yang sempat saya tulis, dan masih banyak yang lain. Saya melihat gejala penggunaan istilah-istilah seperti itu bukan sebagai peristiwa linguistik sederhana. Bagi saya itu persoalan serius. Apalagi yang menggunakan itu ialah seorang pejabat tinggi negara yang seharusnya bisa menjadi teladan atau contoh dalam semua hal, termasuk dalam berbahasa.
Sambil memikirkan kejadian itu, saya teringat ungkapan seorang Indonesianis kenamaan, Benedict Anderson, sebagaimana dikutip AS Hikam, pernah mengatakan bahasa Indonesia adalah bahasa gado-gado yang menerima secara melimpah kosakata asing dengan begitu mudahnya. Apa yang dikatakan Ben Anderson itu tidak berlebihan. Peristiwa di atas merupakan bukti nyata bagaimana istilah asing diadopsi begitu saja tanpa mengindahkan kaidah bagaimana istilah asing diserap ke dalam sebuah bahasa, yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia.
Sepanjang presentasinya, kata-kata tersebut diulang beberapa kali, baik melalui tayangan yang tertulis maupun penyampaian secara lisan. Anehnya, dia begitu percaya diri tanpa merasa salah. Sebagai pemerhati dan peminat gejala bahasa, saya sangat menyayangkan cara berbahasa pejabat tersebut. Sebab, dia tentu akan ditiru oleh anak buahnya. Para pakar bahasa berpendapat bahwa seseorang akan cenderung meniru cara atau ragam berbahasa para figur publik, pejabat, atasan atau orang yang diidolakan. Murid akan meniru cara berbahasa gurunya. Para figur publik, artis, pejabat, guru, wartawan adalah orang-orang yang berkontribusi besar dalam pengembangan bahasa.
Sebagai bagian inti dari kebudayaan, bahasa senantiasa terus berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Lebih-lebih di era saling ketergantungan antar-bangsa seperti saat ini, di mana tidak ada satupun yang tidak tergantung pada bangsa lain, bahasa juga mengalami hal yang sama. Tidak ada satu pun di antara 6000 bahasa di dunia yang tidak dipengaruhi oleh bahasa lain, terutama pada kosakata. Bahasa Inggris sekalipun, yang merupakan salah satu bahasa dengan jumlah kosakata terbanyak di dunia, ternyata masih menyerap istilah atau kosakata asing. Apalagi bahasa Indonesia yang jumlah kosakatanya masih sangat sedikit, penyerapan istilah asing tidak bisa dihindari.
Masalahnya ialah begitu leluasakah penyerapannya? Bukankah kata-kata yang digunakan pejabat di muka tadi sudah memiliki padan kata atau sinonim dalam bahasa Indonesia? Bukankah semua kosakata yang dia gunakan itu sudah memiliki padan katanya dalam bahasa Indonesia? Misalnya, “menginput” bisa diganti dengan “memasukkan”, “mengupload” dengan “mengunggah”, “mendownload” dengan “mengunduh”, “mendelete” dengan “menghapus”, “mengup-grade” dengan “meningkatkan atau menambah”, “mengendorse” dengan “mendukung” dan “mensupport” dengan “membantu” dan seterusnya. Saya juga bertanya apa yang ada di benak pejabat tersebut dengan menggunakan istilah-istilah yang campur aduk seperti itu. Apa dengan menggunakan istilah gado-gado tersebut dia bermaksud agar dikesan lebih intelek?
Bahasa memang bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga potret sosial masyarakat (social mirror). Apa yang terjadi di masyarakat, baik menyangkut masalah sosial, politik, dan budaya tergambar sangat jelas pada bahasa. Perhatikan saja di setiap terjadi perubahan rezim penguasa selalu diikuti dengan perubahan atau setidaknya pergeseran gejala bahasa. Ketika rezim Orde Baru yang begitu represif jatuh pada Mei 1998 dan diganti dengan rezim reformasi yang begitu longgar dan terbuka, gejala bahasa pun menyertainya. Kini, di era reformasi yang penuh eforia orang begitu bebas berbahasa apa saja, dengan cara apa saja, dan begitu leluasanya pula mengadopsi istilah asing sebagaimana contoh di muka. Orang tidak merasa canggung menggunakan istilah-istilah asing yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, malah merasa lebih intelek.
Jika hal itu terus terjadi di masyarakat dan kalangan intelek pun ikut membuat kesalahan dalam mengadopsi istilah asing, saya tidak bisa membayangkan bagaimana wajah bahasa Indonesia kita di masa-masa yang akan datang. Tentu mengadopsi istilah dari bahasa asing tidak salah sebagai upaya menambah jumlah kosakata yang dapat mewakili realitas yang terus berkembang. Tetapi sebebas itukah cara mengadopsinya? Jika bahasa Indonesia menjadi bahasa gado-gado, maka masih relevankah ungkapan “Bahasa menunjukkan bangsa” di tengah-tengah campur aduk dan masuknya istilah-istilah asing yang tidak terkontrol? Jika disepakati pandangan bahwa bahasa adalah wajah masyarakat penggunanya, maka pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana wajah bangsa Indonesia kini dan kelak? Dan, apakah bahasa Indonesia sudah sedemikian terdesak justru di negeri di mana bahasa itu dilahirkan dan digunakan? Para ahli, pengkaji dan pemerhati bahasa Indonesia perlu memikirkannya secara serius!
_________
Penerbangan Jakarta-Solo,
22 November 2016