HUMAS UIN MALANG – Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Pusat mengundang 28 rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) yang berstatus Satuan Kerja (Satker) Badan Layanan Umum (BLU) dalam sebuah pertemuan penting di ruang meeting Gedung Kemenag, Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat. Selasa, 23 Juli 2024.
Pertemuan ini bertujuan untuk membahas regulasi serta dasar hukum remunerasi kolektif berdasarkan PMK 129/PMK.05/2020 yang telah diubah dengan PMK 202/PMK.05/2022, khususnya pada Pasal 301 ayat (4) tentang penetapan usulan remunerasi secara kolektif.
Dr. H. Ahmad Hidayatullah, M.Pd, Kepala Biro AUPK, hadir mewakili Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersama Dr. Ridwan.
Dalam sambutannya, Sekjen Kemenag RI, Prof. Dr. Ali Ramdhani, menekankan pentingnya kemandirian perguruan tinggi berstatus BLU. “Segala upaya dan terobosan harus dilakukan tanpa menyalahi regulasi yang berlaku. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini dibutuhkan koordinasi langsung dengan 28 rektor yang lembaganya menggunakan layanan BLU,” ungkapnya.
Prof. Ali Ramdhani juga mendorong perguruan tinggi untuk mengoptimalkan pendapatan melalui peluang bisnis yang sesuai dengan iklim akademik, seperti konferensi berbayar dan jurnal berbayar. “Saya rasa itu peluang yang memang sesuai dengan iklim akademik di perguruan tinggi,” tambahnya.
Namun, hasil monitoring dan evaluasi (monev) BLU PTKIN menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah, terutama dalam tata kelola BLU. Beberapa masalah yang perlu diatasi termasuk penyempurnaan pedoman dan SOP pengelolaan keuangan BLU, penguatan peran SPI, serta penyelesaian beberapa kasus hukum di sejumlah satker BLU.
Masalah-masalah ini menghambat upaya perguruan tinggi BLU dalam mengoptimalkan aset tetap yang dimilikinya. Faktor utama penghambat adalah belum adanya peta jalan (road map) optimalisasi aset BLU dan pedoman pengembangan unit bisnis.
Direktur pembinaan PPK BLU Ririn Kadariyah juga menjelaskan bahwa hasil monev BLU PTKIN dalam hal hasil kinerja keuangan dilaporkan bahwa terjadi adanya indikasi penumpukan kas BLU dan juga kurangnya digitalisasi pengelolaan keuangan dan layanan BLU. "Selain itu juga kurang optimalnya penempatan idle cash karena evaluasi rutin kegiatan belum dilaksanakan dan diintegrasikan dengan perencanaan keuangan," jelasnya.
Persoalan lain yang muncul juga soal penyusunan tarif layanan belum di dukung dengan perhitungan unit cost yang komprehensif dan juga belum didukung dengan adanya penetapan tarif. "Ini beberapa catatan hasil evaluasi yang telah dilakukan dan harus segera mengambil langkah untuk penyelesaian terhadap regulasi yang berlaku," paparnya.
Dengan pertemuan ini, diharapkan perguruan tinggi yang berstatus BLU dapat lebih mandiri dan optimal dalam memanfaatkan peluang bisnis yang ada tanpa melanggar regulasi yang berlaku.