HUMAS UIN MALANG - Pada 13 Desember 2024, Rektor UIN Malang Prof. Dr. H. M. Zainuddin, MA hadir dalam Knowledge Innovation Technology Aliance (KITA) High Level Dialogue dengan tema” Co-envision Higher Education, Science and Technology in alignment with Indonesia’s National Development Priority Agenda” yang diselenggarakan di UiD Kawasan Ekonomi Khusus Kura Kura Bali. Dialog Tingkat tinggi ini merupakan kerjasama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), United in Diversity Foundation, SDSN Southeast Asia dan Tsinghua Southeast Asia Center.
Pertemuan para pemimpin dan pemangku utama dari sektor pendidikan tinggi di Asia Tenggara, termasuk Menteri dan Wakil Menteri Kemendiktisaintek, Rektor dan Wakil Rektor perguruan tinggi, serta perwakilan dari perusahaan dan organisasi internasional yang hadir secara daring maupun luring. Diskusi tingkat tinggi mengenai prioritas pembangunan nasional pemerintahan Prabowo-Gibran (2024-2029) berperan penting dalam menyelaraskan sektor pendidikan tinggi, sains, dan teknologi yang ada di Indonesia. Penjajakan jalur kolaboratif, mempromosikan pertukaran yang konstruktif, mengonsolidasikan praktik terbaik, membangun mekanisme kebijakan, dan menawarkan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan Pendidikan tinggi untuk bersama-sama membangun ekologi baru untuk transfiormasi Pendidikan tinggi di Kawasan Southeast Asia.
Dalam sambutan pembukaan yang disampaikan oleh Dr. Suyoto selaku Chancellor of the United in Diversity Foundation menggarisbawahi pentingnya landasan yang kokoh dalam hal ketahanan pangan, energi, modal sosial, nilai tambah sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusia guna mencapai “Indonesia Emas 2045”. Pendidikan tinggi di Indonesia memiliki peran strategis sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan visi besar pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, ia menekankan bahwa perguruan tinggi harus menjadi pusat inovasi yang tidak hanya menghasilkan ide, tetapi juga aksi nyata. Menurut Dr. Suyoto, pendidikan tinggi harus melampaui batas tradisional sebagai tempat berbagi ilmu. Ia melihat perguruan tinggi sebagai ruang kolaborasi berbagai pemangku kepentingan—akademisi, pemerintah, industri, dan masyarakat—untuk menciptakan solusi yang relevan dan berdampak. Dalam pandangannya, keberagaman perspektif adalah kekuatan utama bangsa ini. Dengan memadukan cara pandang yang berbeda, perguruan tinggi dapat menghasilkan solusi yang inovatif dan kaya makna.
Di akhir pidatonya, Dr. Suyoto mengajak semua pihak untuk bersinergi. Ia menegaskan bahwa kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan dunia usaha adalah kunci untuk mencapai visi besar bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Keynote Speech 1
Disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro selaku Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro memulai keynote speech-nya dengan menggarisbawahi visi besar kabinet Prabowo-Gibran, khususnya Asta Cita, yang menjadi landasan strategis pembangunan nasional. Beliau menekankan tiga poin utama dari Asta Cita yang relevan dengan pembangunan di bidang pendidikan tinggi, sains, dan teknologi, yaitu peningkatan sistem pertahanan dan keamanan negara serta penguatan kemandirian bangsa (asta cita 2), penguatan pengembangan sumber daya manusia (asta cita 4), dan kemajuan industrialisasi berbasis hilirisasi (asta cita 5).
Dalam konteks tersebut, Prof. Soemantri Brodjonegoro menyoroti peran penting Quick Win Program sebagai langkah percepatan untuk mencapai target-target pembangunan. Khususnya, beliau menyoroti dua program prioritas, yaitu meningkatkan produktivitas melalui riset dan inovasi (quick win program 3) dan membangun sekolah unggulan yang terintegrasi serta meningkatkan kualitas sekolah yang membutuhkan renovasi (quick win program 4).
Visi Besar Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
Dalam pidatonya, Mendiktisaintek menegaskan visi kementerian yang dipimpinnya, yaitu mewujudkan institusi pendidikan tinggi yang berdaya, akuntabel, dan menerapkan tata kelola yang baik. Pendidikan tinggi harus menjadi pusat pertumbuhan dan berdampak langsung pada masyarakat melalui peningkatan kemampuan riset dan pengembangan hingga ke hilirisasi. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi harus difungsikan sebagai katalis untuk percepatan transformasi sosio-ekologis dan ekonomi yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, Prof. Soemantri Brodjonegoro menjelaskan bahwa pembangunan ekosistem riset dan pengembangan (R&D) yang kokoh menjadi kunci untuk mencapai visi besar Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Beliau menguraikan beberapa prioritas utama dalam hal ini:
Peningkatan keterampilan sumber daya manusia: Melalui program upskilling dan reskilling, Indonesia harus mempersiapkan talenta yang tidak hanya kompeten secara lokal tetapi juga siap bersaing di tingkat global.
Riset dan pengembangan kelas dunia: Fokus pada penelitian yang tidak hanya unggul secara akademik tetapi juga relevan secara industri untuk menciptakan dampak nyata bagi masyarakat dan perekonomian.
Hilirisasi dan kemitraan skala besar: Mendorong riset untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi melalui hilirisasi, serta memperkuat kemitraan dengan industri, baik dalam maupun luar negeri.
Kebijakan pengembangan teknologi yang adaptif: Kebijakan ini harus responsif terhadap tantangan global dan kebutuhan nasional untuk memastikan pengembangan teknologi yang relevan dan berkelanjutan.
Prof. Soemantri Brodjonegoro menjelaskan commercialization roadmap inovasi berbasis universitas, yang terdiri dari tiga tahapan strategis. Tahap pertama adalah pendanaan untuk penelitian kompetitif, yang bertujuan mendorong universitas menghasilkan riset berkualitas tinggi dan relevan dengan kebutuhan industri serta masyarakat. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut didukung melalui pendanaan untuk start-up, yang memungkinkan akademisi dan mahasiswa mengembangkan inovasi menjadi produk atau layanan yang siap dipasarkan. Tahap akhir adalah skema matching fund dengan industri, yang memastikan kolaborasi antara universitas dan perusahaan guna menghubungkan inovasi dengan kebutuhan pasar, sehingga tercipta dampak nyata bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Keynote speech 2
Edward Crawley, merupakan Ford Professor of Engineering di Massachusetts Institute of Technology (MIT), menyampaikan pidatonya secara daring dari Boston, Amerika Serikat, dalam acara KITA High-Level Dialogue. Dalam kesempatan tersebut, beliau berbicara mengenai inovasi sebagai pendorong utama pembangunan ekonomi yang berkelanjutan melalui pertukaran pengetahuan. Pidato beliau berfokus pada peran pendidikan tinggi, sains, dan teknologi dalam mendukung agenda prioritas pembangunan nasional Indonesia.
Crawley menggarisbawahi pentingnya praktik-praktik yang mendukung inovasi, yang menurutnya mencakup tiga pilar utama: manajemen, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Dalam aspek manajemen, ia menyoroti perlunya penguasaan organisasi, keuangan, pemasaran, strategi, serta pengelolaan teknologi untuk mendukung proses inovasi. Dalam aspek kepemimpinan, Crawley menekankan kemampuan membuat makna dari informasi yang kompleks, membangun hubungan dengan orang lain, mengartikulasikan visi, dan mewujudkan hasil yang konkret. Sedangkan untuk kewirausahaan, ia menekankan pentingnya rasa ingin tahu, keberanian untuk mengambil risiko, serta kemampuan menciptakan usaha baru dan memahami siklus hidup start-up.
Crawley memaparkan kerangka Practice of Maturing Discoveries and Creations yang bertujuan mempercepat transformasi temuan-temuan ilmiah menjadi inovasi yang siap digunakan di pasar. Kerangka ini mencakup beberapa tahap penting, dimulai dari penciptaan temuan awal seperti prototipe, pembuktian prinsip, penemuan, dan perlindungan kekayaan intelektual. Tahap ini dilanjutkan dengan konsolidasi temuan, analisis pasar, dan demonstrasi konsep hingga akhirnya menghasilkan inovasi yang matang dan siap dipasarkan.
Diskusi Panel
Prof. Stella Christie, Ph.D., selaku Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, menyampaikan sambutannya dengan memaparkan gambaran besar dan tantangan utama dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam sambutannya, Prof. Stella menggarisbawahi pentingnya investasi pada human capital sebagai kunci untuk menghindari stagnasi pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah jalan satu-satunya untuk mendorong Indonesia mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana cara meningkatkan human capital secara efektif? Beliau menjelaskan bahwa investasi yang tepat melalui riset adalah jawabannya. Sayangnya, ia mencatat bahwa di Indonesia saat ini, riset belum menjadi kekuatan utama universitas, dan banyak peneliti tidak diproduksi langsung dari institusi pendidikan tinggi. Selain itu, kurangnya industri berbasis teknologi membuat riset di Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara lain.
Prof. Stella menyampaikan bahwa untuk meningkatkan human capital, Indonesia perlu menciptakan sebuah ekosistem riset yang menjadikan universitas sebagai penggerak utama dan Ristek sebagai penggerak atau fasilitator riset. Ia mengusulkan tiga langkah strategis: pertama, meningkatkan pendanaan riset secara signifikan; kedua, mengubah pola pikir tentang riset, yakni dari sekedar pengeluaran menjadi investasi jangka panjang; dan ketiga, mengurangi hambatan birokrasi yang selama ini menghambat proses riset di universitas.
Lebih lanjut, Prof. Stella menegaskan pentingnya basic science sebagai fondasi untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dalam pandangannya, tanpa dukungan terhadap ilmu dasar, Indonesia akan kesulitan untuk menciptakan inovasi teknologi yang relevan dan berdampak. Dengan universitas sebagai pusat riset, hasil-hasil penelitian akan lebih terarah untuk menciptakan inovasi yang dapat diintegrasikan ke dalam sektor industri. Beliau juga menekankan bahwa riset tidak hanya harus relevan dengan kebutuhan industri, tetapi juga harus menghasilkan tenaga kerja berkualitas tinggi yang dapat menjadi inovator di pasar tenaga kerja.
Dalam diskusi panel kali ini, Dr. Lestari Moerdijat, S.S., MM, selaku Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi X DPR RI, menyoroti sejumlah persoalan mendasar yang menghambat kemajuan sektor pendidikan nasional. Beliau menyatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi adalah lemahnya tata kelola, yang berdampak pada banyaknya kebijakan pendidikan yang belum berjalan secara optimal.
Selain itu, beliau mengkritisi banyaknya undang-undang pendidikan yang tidak aplikatif dan saling tumpang tindih, yang menyebabkan kebingungan di tingkat pelaksana. Beliau juga menyoroti bahwa lembaga-lembaga pendidikan sering kali tidak memiliki kejelasan terkait nomenklatur dan peran, terutama dalam mengimplementasikan Undang-Undang Sisdiknas. Dalam pandangannya, peran dan regulasi yang tidak jelas menciptakan ketidakpastian dan membatasi efektivitas institusi pendidikan dalam menjalankan tugasnya.
Dr. Lestari juga menyoroti kondisi yang beliau sebut sebagai "katastrofi" dalam pendidikan nasional, di mana universitas diminta untuk mengambil tanggung jawab besar tanpa didukung kebijakan yang jelas dan sistem yang kuat. Beliau menyerukan perlunya "medical check-up" terhadap seluruh undang-undang pendidikan, untuk memastikan kebijakan yang ada relevan, terintegrasi, dan mampu mendukung pengembangan pendidikan yang berkelanjutan.
Sebagai penutup, Dr. Lestari mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, legislatif, dan institusi pendidikan, untuk bersama-sama memperbaiki tata kelola pendidikan di Indonesia. Dengan langkah ini, beliau optimis bahwa sistem pendidikan nasional dapat diperkuat, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang unggul dan kompeten serta berkontribusi pada pembangunan bangsa.
Knowledge Dialogue Roundtable
Prof. M. Zainuddin, memaparkan realitas pendidikan tinggi di Indonesia berdasarkan pengalamannya langsung sebagai seorang akademisi dan pimpinan universitas. Beliau menyoroti tantangan-tantangan utama yang dihadapi oleh perguruan tinggi, khususnya dalam hal keseimbangan antara pengajaran dan penelitian.
Prof. Zainuddin menjelaskan bahwa sebagian besar dosen di Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajar daripada melakukan penelitian. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh beberapa faktor mendasar. Pertama, beban administratif yang terlalu besar. Para dosen sering kali terlalu sibuk dengan pelaporan administratif, terutama terkait keuangan, sehingga waktu untuk fokus pada penelitian menjadi sangat terbatas.
Kedua, masalah pendanaan penelitian. Prof. Zainuddin menyoroti bahwa anggaran untuk penelitian di Indonesia sangat minim. Kondisi ini membuat banyak potensi riset tidak dapat dikembangkan lebih lanjut karena keterbatasan sumber daya. Ketiga, hasil penelitian dari perguruan tinggi sering kali kurang mendapat pengakuan atau apresiasi dari pihak industri. Menurut Prof. Zainuddin, hal ini menghambat terjadinya kolaborasi yang erat antara universitas dan perusahaan, sehingga inovasi yang dihasilkan dari penelitian sulit untuk disalurkan atau diterapkan secara praktis.
Meski demikian, Prof. Zainuddin juga menekankan pentingnya melihat peluang untuk perbaikan dan pengembangan dimana universitas di Indonesia perlu memperkuat orientasi mereka pada penelitian berbasis dampak. Perguruan tinggi harus mulai mengintegrasikan best practice dari universitas dunia, meningkatkan pendanaan riset, dan membangun hubungan yang lebih erat dengan industri.
Dalam agenda itu juga, Rektor UIN Malang ditunjuk sebagai group leader dalam showcasting best practice di pendidikan tinggi. Kemudian, acara dilanjutkan dengan MoU Signing antara Tri Hita Karana Centre for Future Knowledge between the KITA (Knowledge Innovation Technology Alliance) dengan Perguruan Tinggi yang hadir dalam dialog tinggi tersebut.
Reporter: Sulthan Fathani Elsyam
Foto: Dok. Humas UIN Malang