Orang itu bernama Haji Nur Zaman. Dia duduk bersila tepat di depan saya. Usianya sekitar 55 tahun. Berkulit gelap dan berbadan agak kerempeng dan tinggi. Di saku bajunya tertulis Jamaah Dzikir Al Khidmah dari Malaysia. Dia duduk bersama jama’ah yang lain. Dia bersarung, berbaju, dan bersongkok putih sebagaimana jama’ah Al Khidmah pada umumnya ketika sedang berdzikir. Tangan kanannya memegang tasbeh putih dan terus menghitung bersamaan dzikir yang diucapkan. Sesekali saya memandangnya dan dari wajahnya terus mengalir tetesan air mata.
Di dekat tembok pintu masuk sebuah sekolah menengah yang kebetulan saya kunjungi tertulis kalimat “Aku Sekolah untuk Meraih Masa Depan”. Ketika masuk halaman sekolah, saya juga menemukan kalimat itu lagi tepat di depan pintu masuk kantor OSIS (Organisasi Intra Sekolah) dalam ukuran yang jauh lebih besar. Ketika saya bertanya kepada salah seorang Wakil Kepala Sekolah mengapa ada tulisan semacam itu, dia menjawab dengan tegas bahwa tulisan tersebut merupakan slogan untuk menyadarkan betapa pentingnya posisi sekolah sebagai wahana menuntut ilmu pengetahuan.
1. Ajang pertemuan dalam rangka reuni alumni Fakultas Tarbiyah ini kita manfaatkan untuk melakukan refleksi tentang perjalanan fakultas ini yang menjadi cikal bakal UIN Malang yang saat ini tumbuh sejajar dengan perguruan tinggi di Tanah Air, sekaligus untuk memikirkan bagaimana mengantarkan Fakultas Tarbiyah menjadi LPTK yang berkualitas di tengah-tengah sorotan tajam tentang rendahnya kualitas pendidikan nasional. Berbagai kritik dari sudut pandang yang berbeda dialamatkan ke pendidikan kita askhir-akhir ini, lebih-lebih sejak sektor pendidikan menyedot anggara APBN demikian besar hingga mencapai 20%. Wajar jika berbagai kalangan meminta semacam ‘pertanggungjawaban’ kepada setiap penyelenggara pendidikan atas pengeluaran anggaran sedemikian besar, tetapi justru kualitas pendidikan malah menurun. Lebih ironis lagi, sampai akhir 2009 sudah 200 000 guru yang dinyatakan lulus sertifikasi dan karenanya sesuai undang-undang mereka berhak memperoleh tunjangan sertifikasi sebesar 1 x gaji pokok sehingga pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 10 trilyun untuk membayar tunjangan sertifikasi tersebut juga belum memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan. Khusus bagi tunjangan guru yang bekerja di daerah terpencil, pemerintah telah mengeluarkan anggaran khusus sebesar hampir Rp. 1, 5 trilyun. Dengan demikian kita bisa menghitung berapa anggaran yang dikeluarkan pemerintah jika 2, 7 juta guru itu telah tersertifikasi semua sesuai target tahun 2015. Sebagai gambaran kasar pemerintah harus punya anggaran setidaknya Rp. 1. 500 trilyun pada tahun 2015.
Yth. Bapak/Ibu Dekan, Direktur PPs,
1. Pada dua dasawarsa terakhir ini, masyarakat manusia berada dalam krisis sangat serius, kompleks, dan multidimensional, yang menyentuh setiap aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, mata pencaharian, lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi dan teknologi serta politik. Jika diamati secara seksama krisis tersebut meliputi dimensi intelektual, moral, dan spiritual.
“Pandai-pandailah bersyukur kepada Allah”, begitu nasihat kyai sepuh itu kepada para jamaah untuk memulai ceramah pada acara kuliah Minggu pagi di sebuah masjid dekat tempat tinggal saya. Pak Kyai itu melanjutkan dengan kalimat “Jika kita pandai bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat yang kita terima. Tetapi jika kita ingkar atau kufur, maka nikmat itu tidak saja dikurangi, tetapi siksa Allah sangat pedih”. “Bertebaran ayat dalam al Qur’an dan hadits yang memerintahkan kita untuk menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur”, kata pak kyai itu tegas. Sambil mendengarkan ceramah, saya merenungkan arti kata ‘syukur’ yang sebenarnya. Kata ‘syukur’ hanya terdiri atas enam huruf. Jadi sangat sederhana. Tetapi untuk mewujudkannya tidak sesederhana mengucapkannya. Ia melibatkan sikap dan hubungan dengan Allah serta rasa pasrah diri kepada-Nya. Karena itu, apa hakikatnya bersyukur? Tulisan pendek ini mencoba mengulasnya secara sederhana.