MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY, Batu — Salah satu fasilitator utama Training of Trainer (ToT) Moderasi Beragama, Dr. KH. Marzuki Wahid, mengajak para peserta menyelami cara baru memahami persoalan sosial melalui teori analisis gunung es dan U Theory. Materi ini disampaikan dalam sesi yang berlangsung pada Selasa 18 November 2025, dan langsung menyita perhatian para peserta karena memberikan sudut pandang mendalam terhadap akar masalah dalam dinamika sosial.
Dalam pemaparannya, Dr. Marzuki menjelaskan bahwa seseorang biasanya merespons masalah melalui empat level: reacting, redesigning, reframing, hingga regenerating. Keempat level ini menjadi bagian penting dalam U Theory yang dikembangkan Otto C. Scharmer dari Presencing Institute.
“Pendekatan ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat masalah dari permukaan, tetapi menyelami apa yang terjadi di baliknya,” jelasnya.
Dr. Marzuki juga memperkenalkan konsep system thinking sebagai cara pandang dalam memahami elemen-elemen pembentuk sistem, baik dalam ekosistem sosial maupun organisasi.
Menurutnya, system thinking adalah metode penting untuk mengurai masalah dengan cara menanyakan elemen apa saja dalam sistem yang memengaruhi suatu peristiwa?
“Setiap peristiwa dalam realitas sosial tidak boleh hanya dilihat dari apa yang tampak. Kita harus memahami elemen-elemen yang bekerja di baliknya,” ungkapnya.
Mengaitkan teori gunung es dengan fenomena sosial, Dr. Marzuki memberi contoh ekstrem: kasus bom bunuh diri. Ia menegaskan bahwa yang terlihat—yakni tindakan ledakan itu sendiri—hanya 10 persen dari keseluruhan persoalan. Sementara 90 persen lainnya berada di bawah permukaan, terdiri dari pola pikir, doktrin, relasi sosial, hingga lemahnya kontrol.
“Fenomena bom bunuh diri itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada sistem perilaku yang terstruktur, misalnya dari kajian keagamaan ekstrem yang dibiarkan tanpa pengawasan keluarga maupun penegak hukum,” tegasnya.
Di akhir sesi, Dr. Marzuki menekankan pentingnya kehadiran pendidik, khususnya para dosen UIN Malang, sebagai motor penggerak moderasi beragama. Fasilitator diharapkan mampu menanamkan cara berpikir yang lebih komprehensif, kritis, dan moderat kepada mahasiswa maupun masyarakat.
“Untuk menekan munculnya kasus-kasus ekstremisme, kita membutuhkan para fasilitator yang memahami proses, mampu membaca sistem, dan mendorong perubahan cara pandang menuju moderasi,” pungkasnya.
Kegiatan ToT ini menjadi ruang penting bagi para dosen muda UIN Malang untuk memperkuat kapasitas mereka dalam membangun ekosistem pendidikan yang lebih moderat, inklusif, dan berorientasi pada perdamaian.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY — Upaya memperkuat moderasi beragama di perguruan tinggi kembali ditegaskan dalam kegiatan pendampingan 30 dosen muda UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang dipersiapkan menjadi calon fasilitator moderasi beragama. Dalam sesi pelatihan tersebut, fasilitator ToT Moderasi Beragama, Dr. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memberikan penekanan penting terkait sikap dasar yang harus dimiliki seorang fasilitator. Selasa, 18 November 2025. Menurut Dr. Iklilah, langkah pertama dalam memahami moderasi beragama adalah berani membenahi sifat egosentris dalam diri sendiri. “Jika mau mendiskusikan moderasi beragama maka yang harus dibenahi adalah sifat egosentris yang ada dalam diri sendiri,” ungkapnya. Ia menegaskan bahwa sifat dominatif yang selama ini melekat pada sebagian dosen saat mengajar tidak boleh dibawa dalam konteks fasilitasi. “Dosen terbiasa mendominasi kelas. Namun, sebagai fasilitator moderasi beragama, seseorang harus mampu mengontrol dominasi diri dan memastikan tidak ada peserta yang diabaikan,” jelasnya.
Dr. Iklilah memaparkan beberapa kompetensi penting yang wajib dimiliki seorang calon fasilitator, antara lain pandangan keagamaan yang moderat dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan komunikasi efektif, termasuk kemampuan memfasilitasi diskusi konstruktif. Kesabaran dan empati, untuk memahami perbedaan pendapat serta menangani konflik dengan bijak. Pengetahuan memadai tentang moderasi beragama, sehingga dapat diterapkan dalam konteks pendidikan. Kemampuan mengelola forum, termasuk mendorong partisipasi aktif semua peserta. Pengaruh signifikan di komunitas kampus, sehingga mampu menggerakkan guru, dosen, maupun mahasiswa dalam menerapkan nilai moderasi.
Tidak hanya itu, ia juga menegaskan pentingnya kemampuan teknologi informasi, mengingat peran teknologi dalam pembelajaran dan komunikasi semakin krusial. Selain kompetensi inti tersebut, seorang fasilitator moderasi beragama juga diharapkan memiliki kualifikasi pendukung, seperti respek terhadap peserta dan mampu menjaga suasana belajar yang inklusif. Kemampuan berbicara yang jelas dan menarik, sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik. Kemampuan mendengarkan secara aktif, memahami kebutuhan peserta, dan membaca dinamika forum. Kemampuan membangkitkan antusiasme peserta agar terlibat aktif dalam proses pembelajaran. “Selain itu, open mind harus dimiliki oleh fasilitator moderasi beragama, karena di sini dibutuhkan rasa simpati dan empati terhadap persoalan yang terjadi di lapangan,” tegas Dr. Iklilah.
Kegiatan pendampingan ini diharapkan mampu melahirkan fasilitator moderasi beragama yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga bijak, empatik, dan responsif terhadap keragaman di tengah masyarakat.
KERJASAMA: Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Malang Drs. H. Basri, MA., Ph.D dan Kepala Pusbangkom Dr. Musyarrafah Amin menunjukkan dokumen MoU yang telah di tandatangani kedua belah pihak.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY-Di tengah berlangsungnya kegiatan Training of Trainer (ToT) Moderasi Beragama, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang resmi menandatangani nota kerjasama dengan Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan, dan Moderasi Beragama (Pusbangkom MKMB) Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kementerian Agama RI. Penandatanganan yang digelar pada Senin, 17 November 2025, di Hotel Onsen, Kota Batu, ini menjadi momentum penting dalam penguatan komitmen moderasi beragama di lingkungan perguruan tinggi. Acara penandatanganan MoU tersebut dihadiri langsung Kepala Pusbangkom, Dr. Musyarrafah Amin, dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Malang, Drs. H. Basri, MA., Ph.D. dan disaksikan langsung oleh Ketua LP2M UIN Malang Dr. Isroqunnajah, M.Ag. Kedua pihak sepakat memperkuat sinergi dalam penyelenggaraan ToT Penguatan Moderasi Beragama yang akan menjadi program strategis dalam meningkatkan kompetensi dosen dan sivitas akademika.
Dalam MoU tersebut, disepakati bahwa kerjasama ini bertujuan untuk menghadirkan pelatihan berbasis pemanfaatan sumber daya manusia dari kedua institusi, sehingga kegiatan ToT dapat berjalan lebih efektif, komprehensif, dan berkelanjutan. Program ini dirancang untuk memperkuat kemampuan para trainer dalam menyampaikan materi moderasi beragama secara tepat, kontekstual, dan sesuai kebutuhan zaman. Peserta ToT difokuskan pada dosen aktif di lingkungan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Namun, sesuai regulasi yang berlaku, kegiatan ini juga membuka kesempatan bagi pejabat fungsional maupun pejabat struktural untuk mengikuti pelatihan, sehingga pemahaman moderasi beragama dapat terdistribusi secara lebih luas di berbagai lini. Penandatanganan MoU ini diharapkan menjadi langkah maju dalam memperkokoh nilai-nilai moderasi beragama di kampus sekaligus memperluas dampaknya ke masyarakat. Dengan kolaborasi antara UIN Malang dan Kementerian Agama RI, penguatan moderasi beragama diharapkan dapat menjadi gerakan bersama yang lebih sistematis, terukur, dan berkesinambungan.
Kepala SPI UIN Malang Dr. H. Ridwan, M.Pd.I (dua dari kiri) saat mengikuti diklat khusus dan uji kompetensi sebagai peserta terfavorit.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY—Langkah strategis kembali ditempuh UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dalam memperkuat tata kelola internal kampus. Kepala Satuan Pengawasan Internal (SPI), Dr. Ridwan, S.Ag., M.Pd.I resmi menyelesaikan Pendidikan dan Pelatihan Khusus Kepala SPI yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan (PPA&K) pada 13–17 November 2025. Rangkaian pelatihan ini ditutup dengan Ujian Kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Internal (LSPAI) pada 18 November 2025.
Pelatihan intensif tersebut dirancang untuk memperkuat kompetensi strategis Kepala SPI, mulai dari manajemen audit, pengendalian internal, identifikasi dan mitigasi risiko, hingga penguatan tata kelola lembaga pendidikan tinggi. Program ini menjadi wujud keseriusan kampus dalam memastikan pejabat pengawasan memiliki kemampuan profesional sesuai standar nasional.
Dr. Ridwan menegaskan bahwa diklat ini tidak hanya menjadi kewajiban regulatif, tetapi juga kebutuhan untuk menghadapi tantangan pengawasan di era tata kelola modern. “Penguatan kompetensi SPI adalah kunci untuk memastikan kampus berjalan dalam koridor akuntabilitas dan transparansi. Ini bukan sekadar pelatihan, tetapi investasi kelembagaan,” ungkapnya.
Upaya peningkatan kompetensi ini sejalan dengan kerangka hukum yang mengatur sistem pengawasan pemerintah, seperti Permenag No. 25 Tahun 2017 tentang SPI, PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP, serta Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI). Seluruh regulasi tersebut secara tegas menuntut pejabat pengawasan memiliki sertifikasi dan kemampuan teknis yang memadai.
Dengan terselenggaranya diklat dan ujian kompetensi ini, SPI UIN Malang meneguhkan komitmennya untuk terus memperkuat integritas institusi. Kampus berjuluk “Kampus Ulul Albab” itu memastikan bahwa seluruh proses tata kelola berjalan bersih, transparan, dan akuntabel melalui peningkatan kualitas SDM strategisnya.
Langkah ini sekaligus menjadi bagian dari agenda besar UIN Malang dalam menghadirkan layanan pendidikan tinggi yang memenuhi standar nasional sekaligus menjawab tuntutan akuntabilitas publik secara berkelanjutan.
KHARISMATIK: Dr. Izzuddin (dua dari kanan) saat sowan ke dalem Kiai Asep menyerahkan undangan halaqah ulama se Jatim di UIN Maliki Malang. Selasa, 18 November 2025.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY--Menjelang perhelatan besar Halaqah Ulama se-Jawa Timur yang akan digelar di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Rektor UIN Malang, Prof. Dr. Hj. Ilfi Nur Diana, M.Si., menugaskan Dr. A. Izzudin, M.HI. beserta tim untuk melakukan sowan khusus ke kediaman Kiai Haji Asep Saifuddin Chalim, ulama khos yang dihormati di Jawa Timur. Sowan ini menjadi ikhtiar penting untuk menyampaikan undangan sekaligus memohon doa restu bagi suksesnya agenda besar tersebut.
Kiai Asep bukanlah sosok sembarangan. Ia merupakan putra bungsu KH Abdul Chalim, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus pejuang kemerdekaan, bersama ibunya Nyai Hj. Qana’ah. Nasab keulamaannya yang kuat seolah menjadi fondasi kokoh bagi perjalanan panjangnya sebagai figur penting dalam pendidikan dan dakwah Islam di Indonesia.
Perjalanan hidup Kiai Asep adalah kisah keteguhan yang sulit ditandingi. Ia menempuh rihlah keilmuan dari satu kota ke kota lain—Jember, Banyuwangi, Lumajang, Bandung, Jakarta, Banten, hingga Palembang—sebelum akhirnya bermukim di Surabaya. Demi tetap bertahan hidup dan bisa terus belajar, ia bahkan pernah bekerja sebagai 'kuli bangunan'. Namun tekad menuntut ilmunya tak pernah padam.
Ia menimba ilmu dari berbagai pesantren besar di Indonesia, mulai dari Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Pesantren Sono dan Siwalanpanji Sidoarjo, Gempeng Bangil, Darul Hadir Malang, hingga Pesantren Sidosermo Surabaya.
Meski pendidikannya sempat tersendat setelah sang ayah wafat ketika ia masih SMA, Kiai Asep tetap melanjutkan studi hingga akhirnya meraih gelar doktor dari Universitas Merdeka Malang pada 2004.
Tahun 1988 menjadi titik balik penting ketika Kiai Asep mendirikan Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Mojokerto. Dengan kesederhanaan dan tanpa bantuan pemerintah, ia dan istrinya membangun pesantren ini setapak demi setapak, hingga menjelma menjadi institusi pendidikan Islam modern yang diakui nasional maupun internasional.
Pondok ini dikenal dengan disiplin spiritual para santrinya—mulai dari qiyamul lail pukul 03.00 hingga tadarus rutin sebelum dan sesudah Subuh. Kedisiplinan ini berbanding lurus dengan prestasi yang dicapai.
Tahun ini saja, 1.237 santri Amanatul Ummah berhasil masuk PTN ternama seperti ITB, UI, UGM, IPB, ITS, Unair, Undip, STAN, dan UIN. Tak hanya itu, puluhan santri lainnya diterima di kampus luar negeri, mulai dari AS, Rusia, Mesir, hingga Maroko. Sebanyak 62 santri bahkan lolos ke fakultas kedokteran, sebuah kebanggaan luar biasa bagi dunia pesantren.
Prestasi tersebut membuat Kiai Asep semakin diperhitungkan. Bahkan, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo pernah datang langsung ke pondoknya untuk membangun kerja sama pendidikan.
Selain di dunia pendidikan, Kiai Asep aktif dalam berbagai organisasi. Ia pernah menjadi pengurus PCNU Surabaya, Ketua MUI Surabaya, anggota DPRD Surabaya dari PKB, serta dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kiprahnya menegaskan peran ulama sebagai motor perubahan sosial.
Sowan tim UIN Malang ke kediaman Kiai Asep bukan sekadar agenda seremonial. Ini merupakan bentuk takzim kepada ulama khos sekaligus penanda bahwa kegiatan Halaqah Ulama se-Jatim di UIN Malang akan digelar dengan melibatkan tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh besar dalam pengembangan keilmuan Islam dan pendidikan pesantren.
Dengan restu dan kehadiran para ulama besar seperti Kiai Asep, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berharap halaqah ini tidak hanya menjadi forum diskusi keagamaan, tetapi juga momentum memperkuat jaringan ulama, memperkaya moderasi beragama, dan memperteguh komitmen membangun Jawa Timur sebagai pusat intelektual Islam yang inklusif dan berkemajuan.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY — Memasuki hari kedua Training of Trainers (TOT) Moderasi Beragama, suasana pelatihan semakin dinamis dan penuh antusiasme. Para fasilitator moderasi beragama mengajak seluruh peserta untuk kembali mereview materi yang telah disampaikan pada sesi sebelumnya, sebagai langkah penting memperkuat pemahaman dasar sebelum memasuki tahap pelatihan lanjutan. Selasa, 18 November 2025.
Dalam sesi ini, Prof. Fawaiziul Umam dari UIN KHAS Jember bersama Dr. KH. Marzuki Wahid memandu 30 peserta untuk melakukan diskusi kelompok. Para peserta kemudian dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing mendapatkan tugas untuk membahas dua hal penting yaitu mengapa peran fasilitator sangat dibutuhkan dalam sebuah pelatihan, dan apa yang membedakan fasilitator dengan dosen dalam proses pembelajaran.
Diskusi berlangsung aktif. Para peserta saling bertukar pandangan mengenai pentingnya fasilitator sebagai penggerak dinamika pelatihan, penguat partisipasi, sekaligus penjaga suasana belajar agar tetap hidup dan inklusif. Peran fasilitator dinilai berbeda dari dosen yang lebih terfokus pada penyampaian materi, sedangkan fasilitator menekankan interaksi, keterlibatan peserta, dan penguatan pengalaman belajar.
KH. Marzuki Wahid juga tak lupa mengingatkan peserta tentang pentingnya sikap proaktif sebagai calon fasilitator moderasi beragama. Ia mendorong setiap anggota kelompok untuk menghadirkan kreativitas dalam setiap sesi.
Menariknya, untuk menciptakan suasana yang cair dan menyenangkan, setiap kelompok diminta membuat yel-yel kreatif yang akan ditampilkan pada sesi berikutnya. Inisiatif ini disambut meriah oleh peserta, yang tampak antusias mempersiapkan yel-yel terbaik mereka.
Suasana pelatihan pun menjadi lebih hidup. Dengan metode interaktif dan suasana penuh semangat, TOT Moderasi Beragama hari kedua ini diharapkan mampu memperkuat kesiapan peserta menjadi fasilitator yang kompeten, komunikatif, dan inspiratif dalam menjalankan misi moderasi beragama di masyarakat.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY, Batu — Training of Trainer (ToT) Moderasi Beragama yang digelar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersama Pusbangkom MKMB BMBPSDM Kemenag RI pada Senin, 17 November 2025, menghadirkan pemikiran tajam dan reflektif dari Prof. Dr. A. Zaenul Hamdi. Mengangkat tema besar “Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia”, Prof. Zaenul mengajak 30 peserta ToT menengok ulang dinamika kebangsaan yang kerap terlupakan, sekaligus menegaskan urgensi moderasi beragama dalam kehidupan bangsa. Pada awal penyampaiannya, Prof. Inung sapaan akrabnya menekankan bahwa masyarakat Indonesia hidup di tengah keberagaman yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, moderasi beragama bukan sekadar teori, tetapi kebutuhan mendesak yang menentukan harmoni sosial bangsa.
Ia kemudian mengajak peserta melakukan kilas balik pada masa pasca reformasi 1998–2000, ketika Indonesia diguncang peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya: rangkaian aksi terorisme yang memuncak pada tragedi Bom Bali. Lebih jauh, Prof. Zaenul mengingatkan kembali kasus bom Surabaya tahun 2018 yang menewaskan anak-anak dan mengguncang rasa kemanusiaan bangsa. “Delapan belas tahun Indonesia tidak memiliki hukum yang bisa dijadikan rujukan,” tegasnya, merujuk pada kekosongan kerangka hukum yang memadai dalam menangani kasus ekstremisme beragama pasca reformasi.
Momentum kebangkitan gagasan moderasi beragama, menurutnya, mulai ditata secara serius sejak era Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin pada 2018. Sejak saat itu, moderasi beragama menjadi kerangka penting dalam menjaga keseimbangan kehidupan beragama di tengah masyarakat majemuk. Melengkapi paparannya, Prof. Inung menyajikan data kependudukan terbaru dari Ditjen Dukcapil Kemendagri tahun 2024 yang menunjukkan bahwa Indonesia dihuni 282.477.584 jiwa. Dari jumlah itu, 87,08 persen atau 245.973.915 jiwa beragama Islam. Populasi besar ini sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa. “Data ini sangat penting. Dengan populasi 87 persen beragama Islam, isu mayoritas dan minoritas pasti menjadi landasan sensitif dalam dinamika konflik keagamaan,” terangnya. Ia mengingatkan peserta ToT untuk *melek data* sebelum memperdalam moderasi beragama. Data, menurutnya, membuka kesadaran bahwa moderasi bukanlah wacana abstrak, melainkan respons terhadap realitas sosial. Lebih lanjut, Prof. Inung menegaskan bahwa memahami definisi moderasi beragama sebenarnya mudah—“cukup lima menit pasti hafal”. Namun tantangan terbesar justru terletak pada upaya mengikis *standar ganda* dalam diri masing-masing, terutama terkait kecenderungan mayoritarianisme. “Perilaku kitalah yang sering terjebak dalam mayoritarianisme dalam beragama,” ujarnya dengan nada kritis. Melalui pemaparan ini, peserta ToT diajak menyadari bahwa moderasi beragama bukan sekadar pengetahuan, tetapi gerakan kesadaran diri untuk bersikap adil, menahan ego kelompok, serta memprioritaskan kemanusiaan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Kegiatan ToT Moderasi Beragama ini diharapkan dapat melahirkan para trainer yang tidak hanya memahami konsep, tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai moderasi di tengah masyarakat luas—sebuah investasi penting bagi keberlanjutan harmoni bangsa.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY, Batu– Suasana Hotel Onsen, Kota Batu, pagi ini terasa semakin hangat dan penuh semangat ketika Ketua Pusbangkom MKMB BMBPSDM Kemenag RI, Dr. Musyarrafah, hadir langsung untuk membuka Training of Trainer (TOT) Moderasi Beragama yang diikuti oleh 30 dosen muda UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Senin, 17 November 2025.
Dalam sambutannya, Dr. Musyarrafah menekankan bahwa peran dosen tidak berhenti pada aktivitas mengajar di ruang kelas. Lebih dari itu, dosen harus tampil sebagai role model, penggerak nilai-nilai kebaikan, dan penjaga spirit keberagamaan yang moderat.
“Tugas dosen bukan hanya mengajar, tetapi menjadi teladan. Moderasi beragama mengajarkan kita untuk berpikir positif, menjauhi intoleransi, dan mencegah perpecahan di negeri ini,” ujar beliau di hadapan para peserta.
Ia berharap cara para dosen UIN Malang dalam mengajar dan berdialog dengan mahasiswa dapat mencerminkan jati diri seorang cendekiawan yang moderat, sejuk, dan mampu merawat keberagaman.
TOT yang dirancang oleh Pusbangkom ini bukan sekadar pembekalan konsep, melainkan upaya membentuk ekosistem penggerak moderasi beragama di tingkat fakultas. Para peserta yang dinyatakan lulus nantinya akan memperoleh sertifikat Penggerak Moderasi Beragama, sebagai bentuk pengakuan atas kompetensi mereka dalam menjadi duta nilai-nilai moderasi.
Selama pelatihan, para narasumber akan memperdalam pemahaman peserta mengenai nilai-nilai moderasi beragama, khususnya dalam penerapannya pada proses pembelajaran di kampus. Dr. Musyarrafah menegaskan bahwa dosen memiliki peran kunci dalam memperkuat moderasi beragama, terutama dalam menghadapi dinamika mahasiswa dari kelompok yang inklusif hingga yang cenderung radikal.
“Kami berharap para fasilitator mampu berbagi teknik menghadapi keberagaman di kampus. Di lapangan, para dosen akan berhadapan dengan beragam karakter dan pemikiran mahasiswa,” tambahnya.
Ia juga mendorong adanya refleksi pribadi dari setiap peserta TOT yang datang dari berbagai fakultas. Semangat, integritas, dan keseriusan para peserta diharapkan mampu menjadikan program ini bermanfaat secara luas, baik bagi kampus maupun masyarakat.
Menutup sambutannya, Dr. Musyarrafah membacakan sebuah pantun yang mengajak seluruh peserta untuk mempraktikkan moderasi beragama dengan akhlak mulia dan kedamaian. Setelah itu, ia resmi membuka kegiatan TOT Moderasi Beragama dengan bacaan basmalah bersama, menandai dimulainya rangkaian pelatihan secara resmi.
Kegiatan ini menjadi langkah strategis untuk melahirkan para penggerak moderasi beragama yang siap menjaga harmoni di tengah keberagaman, khususnya di lingkungan akademik UIN Malang.
MALIKI ISLAMIC UNIVERSITY, Batu – Suasana hangat menyelimuti ruang pelatihan Training of Trainer (TOT) Moderasi Beragama yang digelar di Hotel Onsen, Songgoriti, Kota Batu, ketika Ketua LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Dr. Isroqunnajah, M.Ag, hadir dan memberikan penguatan langsung kepada para peserta. Senin, 17 November 2025.
Di hadapan para dosen muda yang mengikuti program TOT tersebut, Dr. Isroqunnajah menegaskan bahwa moderasi beragama merupakan kebutuhan mendesak dalam konteks kebangsaan Indonesia. Menurutnya, Indonesia bukan hanya besar secara geografis, tetapi juga secara sosial karena masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan terutama agama.
“Indonesia adalah negara majemuk. Keragaman itu adalah kekuatan sekaligus tantangan. Di sinilah pentingnya moderasi beragama agar kehidupan sosial tetap harmonis,” ujarnya.
Tak hanya berbicara dari sudut pandang lokal, Dr. Isroqunnajah juga membagikan pengalamannya selama kunjungan ke Rusia beberapa hari sebelumnya. Ia menyampaikan bahwa negara tersebut menghadapi persoalan serupa, yaitu dinamika keberagamaan dalam masyarakat yang beragam.
“Rusia saja menghadapi tantangan yang sama terkait keragaman masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa moderasi beragama merupakan kebutuhan universal,” tegasnya, menandaskan relevansi moderasi lintas negara dan budaya.
Dr. Isroqunnajah juga menekankan bahwa dosen UIN Malang memiliki peran strategis sebagai motor penggerak moderasi beragama di tengah masyarakat. Implementasi nilai-nilai moderasi, menurutnya, harus dimulai dari kampus lalu digaungkan ke lingkungan sosial yang lebih luas.
“Para dosen harus menjadi role model, penyemai nilai, dan penjaga harmoni di masyarakat,” tambahnya.
Di akhir penyampaiannya, ia memberikan apresiasi kepada Pusbangkom MKMB BMBPSDM Kemenag RI, para fasilitator, serta pimpinan UIN Maliki Malang yang terus mendukung penguatan moderasi beragama di lingkungan akademik.
Kegiatan TOT Moderasi Beragama ini diharapkan mampu melahirkan agen-agen moderasi beragama yang kompeten, inspiratif, dan siap membangun masyarakat yang rukun dalam keberagaman.